Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang secara
historis dan kultural, banyak mengalami dinamika dari masa ke masa. Dalam hal
kehidupan religi misalnya, kultur Jawa banyak mengalami percampuran pengaruh
antara Hindu yang lebih dulu dianut, dan Islam yang baru datang pada abad ke-15
Masehi. Hal ini menyebabkan banyaknya akulturasi yang terjadi dalam budaya
religi Jawa.
Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah
berketuhanan.Koentjaraningrat (1953) mengemukakan bahwa sejak masa prasejarah,
kehidupan religi di Jawa telah diwarnai oleh animisme, yaitu suatu kepercayaan
tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
manusia sendiri. Semua yang bergerak dianggap hidup dan berkekuatan gaib atau
memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik.[1]
Inilah yang mendorong berkembangnya budaya sesajen sebagai ritual untuk
menghindari keburukan dari roh yang berwatak buruk. Hal ini masih berlanjut
setelah era Hindu-Budha di Jawa, yang kemudian dilanjutkan dengan Islam.
Tradisi upacara-upacara keagamaan yang
berkembang pada masa animisme dan Hindu-Budha, mengalami sedikit pergeseran
pada masa berkembangnya Islam. Para wali, sebutan untuk tokoh-tokoh penyebar
Islam.
Di Jawa,
telah memanfaatkan aneka sarana sebagai pengantar mereka dalam mendakwahkan
Islam. Demi mendapatkan respon positif masyarakat yang sudah lebih dulu
mengenal Hindu, tanpa harus berhadapan secara frontal dengan tradisi lama dari
agama sebelumnya, maka digunakanlah uslub dakwah sesuai budaya setempat.
Jadilah sejumlah kesenian seperti tembang-tembang Jawa, alat musik gamelan
serta pertunjukan wayang dimasuki unsur-unsur dakwah Islam secara halus.
Selain itu, bentuk upacara
keagamaan yang sudah mengakar juga disisipi nuansa Islami, tanpa merubah
bentuknya secara total dan lebih bersifat adaptif. Upacara keagamaan yang
dimaksud adalah dalam lingkup individu dan keluarga seperti upacara seputar
menyambut kelahiran, pernikahan dan kematian, juga upacara yang dilaksanakan
dalam lingkup komunal seperti bersih desa dan sejenisnya. Sejumlah tradisi
tersebut masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya di pedesaan
secara turun-temurun hingga saat ini.
Salah satu
tradisi upacara keagamaan yang masih dapat dinikmati sampai sekarang adalah
Sekaten dengan puncak acaranya berupa penampilan raja di hadapan rakyatnya dan
arak-arakan gunungan yang disebut Garebeg. Saat ini Sekaten diselenggarakan
antara lain oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta dan Keraton
Kasunanan Surakarta di Solo.
Tradisi
Garebeg di tanah Jawa ini awalnya berasal dari era Hindu-Budha yang merupakan
kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan
keterpaduan antara kerajaan dan rakyatnya. Pada kesempatan itu para wakil
propinsi datang memberikan upeti kepada kerajaan dan rakyat bergembira ria.
Ritual-ritualnya hampir sama dengan upacara yang lain, semuanya mengukuhkan
homogenitas model Jawa yang orisinil.[2]
Dalam
kelanjutannya, para wali bersama pihak kerajaan yang telah menerima Islam
dengan baik- saat itu kerajaan Mataram- menyisipkan nilai-nilai substantif
Islam pada upacara Garebeg dan keseluruhan prosesi Sekaten sebagai usaha untuk
memperkenalkan agama tersebut. Sebagai hasilnya adalah perpaduan antara ruh
Jawa dan nafas Islam yang menjadikan prosesi Sekaten pada umumnya, dan Garebeg
pada khususnya, menjadi sajian budaya yang unik, antara lain karena amat kaya
dengan simbolisme.
Dalam budaya
Jawa, penggunaan simbol sudah menjadi kelaziman, seiring dengan kentalnya aneka
mitos dalam kultur Jawa. Pemaknaan tertentu atas simbol-simbol yang digunakan
pada berbagai prosesi, termasuk Sekaten, juga terpengaruh oleh beberapa mitos
dan prinsip hidup khas Jawa. Hadirnya nuansa Islam tidak membuat prinsip
religiusitas Jawa pudar.
Namun Islam
justru memperkaya khazanah religiusitas tersebut. Walau tidak dapat dipungkiri
bahwa akulturasi tersebut sering pula menimbulkan ambiguitas dalam pemaknaan
simbol sekaligus memunculkan sinkretisme, tapi banyak aspek menarik yang dapat
dijadikan sebagai sebuah pemahaman bersama tentang Islam Jawa atau Jawa Islam
sebagai sebuah fakta yang telah ada secara turun temurun.
Hal
demikian, yaitu akulturasi dan simbolisme yang kental, salah satunya terdapat
pada tradisi Sekaten, sebuah seremoni yang awalnya bertujuan untuk mendakwahkan
Islam dengan mengambil momentum peringatan Maulid Nabi. Dalam acara tersebut
terdapat unsur-unsur komunikasi yang menonjol, sehingga Sekaten merupakan
contoh peristiwa komunikasi, khususnya komunikasi tradisional.
Sekaten
sebagai sebuah seremoni religi berlatar belakang Islam dan Jawa, yang
dimaksudkan sebagai sebuah tontonan dan tuntunan, menggunakan sejumlah uslub
(cara) sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan dakwah Islam kepada
masyarakat. Bagaimana pesan dalam upacara Sekaten tersebut merepresentasikan
dakwah Islam.
[1]
Sebagaimana terdapat dalam tulisan Budaya dan Kepercayaan Jawa
Pra-Islam, oleh Hj. Ismawati, yang merupakan bagian dari buku Islam dan
Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 6.
[2]
Ibid, hlm. 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar