Selasa, 03 Januari 2012

Upacara Sekaten di Alun-alun Utara Yogyakarta


Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang secara historis dan kultural, banyak mengalami dinamika dari masa ke masa. Dalam hal kehidupan religi misalnya, kultur Jawa banyak mengalami percampuran pengaruh antara Hindu yang lebih dulu dianut, dan Islam yang baru datang pada abad ke-15 Masehi. Hal ini menyebabkan banyaknya akulturasi yang terjadi dalam budaya religi Jawa.
Salah satu ciri masyarakat Jawa adalah berketuhanan.Koentjaraningrat (1953) mengemukakan bahwa sejak masa prasejarah, kehidupan religi di Jawa telah diwarnai oleh animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia sendiri. Semua yang bergerak dianggap hidup dan berkekuatan gaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik.[1] Inilah yang mendorong berkembangnya budaya sesajen sebagai ritual untuk menghindari keburukan dari roh yang berwatak buruk. Hal ini masih berlanjut setelah era Hindu-Budha di Jawa, yang kemudian dilanjutkan dengan Islam.

Tradisi upacara-upacara keagamaan yang berkembang pada masa animisme dan Hindu-Budha, mengalami sedikit pergeseran pada masa berkembangnya Islam. Para wali, sebutan untuk tokoh-tokoh penyebar Islam.
Di Jawa, telah memanfaatkan aneka sarana sebagai pengantar mereka dalam mendakwahkan Islam. Demi mendapatkan respon positif masyarakat yang sudah lebih dulu mengenal Hindu, tanpa harus berhadapan secara frontal dengan tradisi lama dari agama sebelumnya, maka digunakanlah uslub dakwah sesuai budaya setempat. Jadilah sejumlah kesenian seperti tembang-tembang Jawa, alat musik gamelan serta pertunjukan wayang dimasuki unsur-unsur dakwah Islam secara halus.

Selain itu, bentuk upacara keagamaan yang sudah mengakar juga disisipi nuansa Islami, tanpa merubah bentuknya secara total dan lebih bersifat adaptif. Upacara keagamaan yang dimaksud adalah dalam lingkup individu dan keluarga seperti upacara seputar menyambut kelahiran, pernikahan dan kematian, juga upacara yang dilaksanakan dalam lingkup komunal seperti bersih desa dan sejenisnya. Sejumlah tradisi tersebut masih dilestarikan oleh sebagian masyarakat Jawa khususnya di pedesaan secara turun-temurun hingga saat ini.

Salah satu tradisi upacara keagamaan yang masih dapat dinikmati sampai sekarang adalah Sekaten dengan puncak acaranya berupa penampilan raja di hadapan rakyatnya dan arak-arakan gunungan yang disebut Garebeg. Saat ini Sekaten diselenggarakan antara lain oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta di Solo.
Tradisi Garebeg di tanah Jawa ini awalnya berasal dari era Hindu-Budha yang merupakan kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk memulihkan keterpaduan antara kerajaan dan rakyatnya. Pada kesempatan itu para wakil propinsi datang memberikan upeti kepada kerajaan dan rakyat bergembira ria. Ritual-ritualnya hampir sama dengan upacara yang lain, semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang orisinil.[2]
Dalam kelanjutannya, para wali bersama pihak kerajaan yang telah menerima Islam dengan baik- saat itu kerajaan Mataram- menyisipkan nilai-nilai substantif Islam pada upacara Garebeg dan keseluruhan prosesi Sekaten sebagai usaha untuk memperkenalkan agama tersebut. Sebagai hasilnya adalah perpaduan antara ruh Jawa dan nafas Islam yang menjadikan prosesi Sekaten pada umumnya, dan Garebeg pada khususnya, menjadi sajian budaya yang unik, antara lain karena amat kaya dengan simbolisme.
Dalam budaya Jawa, penggunaan simbol sudah menjadi kelaziman, seiring dengan kentalnya aneka mitos dalam kultur Jawa. Pemaknaan tertentu atas simbol-simbol yang digunakan pada berbagai prosesi, termasuk Sekaten, juga terpengaruh oleh beberapa mitos dan prinsip hidup khas Jawa. Hadirnya nuansa Islam tidak membuat prinsip religiusitas Jawa pudar.
Namun Islam justru memperkaya khazanah religiusitas tersebut. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa akulturasi tersebut sering pula menimbulkan ambiguitas dalam pemaknaan simbol sekaligus memunculkan sinkretisme, tapi banyak aspek menarik yang dapat dijadikan sebagai sebuah pemahaman bersama tentang Islam Jawa atau Jawa Islam sebagai sebuah fakta yang telah ada secara turun temurun.
Hal demikian, yaitu akulturasi dan simbolisme yang kental, salah satunya terdapat pada tradisi Sekaten, sebuah seremoni yang awalnya bertujuan untuk mendakwahkan Islam dengan mengambil momentum peringatan Maulid Nabi. Dalam acara tersebut terdapat unsur-unsur komunikasi yang menonjol, sehingga Sekaten merupakan contoh peristiwa komunikasi, khususnya komunikasi tradisional.
Sekaten sebagai sebuah seremoni religi berlatar belakang Islam dan Jawa, yang dimaksudkan sebagai sebuah tontonan dan tuntunan, menggunakan sejumlah uslub (cara) sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan dakwah Islam kepada masyarakat. Bagaimana pesan dalam upacara Sekaten tersebut merepresentasikan dakwah Islam.


[1] Sebagaimana terdapat dalam tulisan Budaya dan Kepercayaan Jawa Pra-Islam, oleh Hj. Ismawati, yang merupakan bagian dari buku Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 6.

[2] Ibid, hlm. 20 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar